SELAMAT DATANG COMRADE

Minggu, 20 Januari 2013

Gunung Bawakareng

     Gunung Bawakaraeng berada di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.Gunung bawakaraeng secara geografis terletak pada 119° 56 ‘40″ BT ; 05°19′ 01″ LS.Di lereng gunung ini terdapat wilayah ketinggian, Malino, tempat wisata terkenal di Sulawesi Selatan. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai.
      Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti sendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan.Penganut sinkretisme di wilayah sekitar gunung ini meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Para penganut keyakinan ini juga menjalankan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng setiap musim haji atau bulan Zulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Tepat tanggal 10 Zulhijjah, mereka melakukan salat Idul Adha di puncak Gunung Bawakaraeng atau di puncak Gunung Lompobattang.
      
Bawakaraeng adalah suatu nama / istilah dari bahasa Makassar , yakni ; Bawa memiliki arti ucapan (mulut) dan Karaeng menunjukkan arti yang dihormati / yang dihargai (raja); atau secara harfiah berarti mulut raja; sehingga istilah bawakaraeng secara maknawiah menjelaskan bahwa kehormatan seseorang atau nilai diri (harga diri) seseorang terletak pada ucapannya (mulutnya).
      Hingga saat ini belum ditemukan suatu catatan yang menjelaskan (sejak kapan dan latar belakang) mengenai penempatan nama Bawakaraeng pada sebuah Gunung (yang ada saat ini), meskipun dapat dimengerti bahwa kebiasaan pemberian nama pada suatu tempat, umumnya berdasarkan riwayat kejadiannya. Selain Bawakaraeng, terdapat sebutan / predikat lain bagi tempat (Gunung) tersebut, yakni buttatoayya (dari bahasa Makassar); Butta berarti Tanah; Toa berarti Tua; dan Ayya menunjukkan (kata) sifat; sehingga secara harfiah Buttatoayya berarti Tanah yang memiliki sifat yang Tua; atau secara maknawiah Buttatoayya menegaskan sebagai suatu tempat (yang tinggi) yang dituakan (bukan tua secara geologis) karena telah dipilih / disepakati oleh para wali / para karaeng / kaum suci (Islam) sebagai tempat untuk berdoa (bersembahyang) dan bertemu untuk membicarakan kebaikan. Predikat sebagai buttatoayya lalu didudukkan pada sebuah gunung yang diberi nama Bawakaraeng. predikat buttatoayya lebih dipahami oleh pelaku tradisi budaya / ritual mistis atau mereka yang sangat mendalami kedudukan Bawakaraeng.
      Sejak dahulu kala rutinitas ritual haji ke Gunung Bawakaraeng telah ada dalam tradisi masyarakat di Sulawesi Selatan. Tradisi ini telah ada bersamaan dengan dikenalnya persoalan ketuhanan dan agama di Sulawesi Selatan. Namun karena tradisi ini berbeda dengan tradisi haji yang sering dilakukan oleh umat Islam pada umumnya yaitu ke Mekah, maka dalam perjalanannya tradisi ini senantiasa mengalami banyak rintangan. Penganut tradisi haji Bawakaraeng ini terkadang dihujat sebagai musyrik bahkan murtad. Pengikutnya ada yang ditangkap dibawa ke kodim dan dianggap sebagai penganjur tarekat yang menyesatkan. Pada tahun 60-an, tradisi ini dilarang total oleh DI/TII, siapa saja yang kedapatan ke Bawakaraeng dalam rangka acara ritual tertentu atau sekedar ziarah akan ditangkap, bahkan beberapa di antaranya dihukum mati. Dari hasil wawancara dan pengamatan penulis terhadap beberapa penganut paham ini, serta beberapa tokoh masyarakat yang berkompeten mengetahuinya, maka dapat diamati beberapa faktor yang menyebabkan munculnya Haji Bawakaraeng:
1. Pengaruh Cerita Mitos Tentang Syekh Yusuf
Mitos merupakan hal yang selama ini dianggap kumpulan cerita irrasional dan komikal. Mitos yang lahir dalam kebudayaan primitif maupun dalam zaman modern ini sama-sama mengikuti hukum-hukum perkembangan. Mitos lahir dari penggabungan ide-ide yang logis (Pals, 2006: 40). Sebuah mitos dapat menghubungkan peristiwaperistiwa khayalan dengan kisah hidup seorang tokoh, mitos dapat jadi berkembang secara logis di luar permainan kata, dan memberikan pengaruh yang berkelanjutan pada masyarakat yang percaya terhadap tokoh legenda. Dari karakter mitos-mitos seperti inilah yang menjadi faktor dalam menganalisa kepercayaan Bawakaraeng. 

Menurut keterangan Daeng Jarre;
Sabanarna katte jappa ri Bawakaraeng, nasaba pamminawanganna Tuanta Salamaka Yusuf naniboya barakka’na, anjo Yusuf battupi ri Bawakaraeng nampa lampa ri Makka. 

bahwa apa yang mereka lakukan ke Gunung Bawakaraeng itu, adalah semata-mata sebagai “peminawangan” yakni ikutan pada tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf untuk mendapatkan berkahnya, sebab Yusuf ke Bawakaraeng terlebih dahulu sebelum berangkat ke Mekah.

Pada dasarnya penganut paham ini merasa kagum terhadap kehebatan Syekh Yusuf melalui cerita mitologi yang turun-temurun berkembang di tengah masyarakat, sehingga mereka meyakini kebenarannya hingga sekarang dengan mempraktikkan ajaran Syekh Yusuf di Puncak Gunung Bawakaraeng. Mereka yakin bahwa di tempat inilah Syekh Yusuf, wali penyebar Islam di Sulawesi Selatan tinggal bersemayam. Karena itu para pengunjung Gunung Bawakaraeng mendatangi mihrab Syekh Yusuf, karena ketidakmampuan mereka berhaji ke Mekah seperti yang dilakukan oleh Syekh Yusuf. Konon menurut kepercayaan mereka, Syekh Yusuf telah mewakili haji mereka yang sesungguhnya, asalkan ingin berhaji ke Gunung Bawakaraeng.

2. Keinginan Berhaji dan Sulitnya Sistem Haji
Haji merupakan salah satu rukun Islam. Sebagai bagian dari ajaran Islam, mekanisme pelaksanaan haji membutuhkan segala bentuk kemampuan yang berkaitan dengan materil dan non materil, kesiapan mental, kesadaran diri, semangat keagamaan, ketulusan hati, perjuangan, dan pengorbanan (Putuhena, 2007: V). Umumnya, seorang bersedia melakukan apa saja demi melaksanakan ibadah ini. Bahkan tidak jarang seseorang rela menjual aset berharganya misalnya; sawah, tanah, kendaraan, perhiasan, dan aset lainnya demi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Mereka dengan tulus dan ikhlas menunaikan haji yang ritualnya menyerupai rekonstruksi perjalanan para nabi Allah itu. Mereka tidak peduli, apakah setelah kembali mereka masih punya cukup aset untuk menyambung hidup lagi, asalkan sudah pernah menengok kota nabi itu.

Konon seseorang bahkan rela berhutang untuk menutupi ongkos naik haji yang sekarang besarannya sekitar Rp 35 juta. Juga tidak jarang terjadi di masyarakat Bugis- Makassar, orang tua membawa anak-anaknya berangkat haji, bahkan meski si anak belum cukup umur. Dengan asumsi bahwa anak-anak yang semuanya sudah bergelar haji, status sosial keluarga itu akan sangat terhormat dalam masyarakatnya, bahkan mendapattempat yang istimewa dalam acara-acara tertentu, misalnya pernikahan, kelahiran dan lain sebagainya. Dengan keinginan yang kuat tersebut, sehingga sebahagian masyarakat Bugis-Makassar khususnya penganut kepercayaan haji Bawakaraeng mencari cara lain yang ditempuh untuk mendapatkan kehormatan ini, misalnya dengan menciptakan ritual tandingan berhaji di puncak Gunung Bawakaraeng oleh sebagian orang Bugi-Makassar, yang didasarkan pada anggapan bahwa pahala dan keafdhalannya dianggap sepadan dengan prosesi yang dilakukan di Mekah dan Medinah. munculnya Haji Bawakaraeng tidak lepas dari semangat mereka yang ingin menunaikan rukun Islam yang ke lima itu. Di samping itu, sulitnya sistem dan prosedur pelaksananaan ibadah haji yang dikelurakan oleh pemerintah Indonesia, sehingga sebagian kalangan mengambil jalan pintas dalam pelaksanaan ibadah haji ini.

Berdasar pula pada kisah seorang tukang jahit sepatu Ali al- Muwaffaq yang tidak sempat menunaikan haji ke Mekah karena memberi pertolongan kepada tetangganya yang butuh bantuan, dan Sufi Rabiatul Adawiyah yang tidak melakukan haji di Mekah, tetapi pahala haji mereka diterima di sisi Allah SWT. Inilah yang membuat mereka tertarik dan dijadikan tolok ukur. Oleh karena menunaikan ibadah haji di Mekah memerlukan fisik yang kuat dan perjalanan berat, maka mereka menganalogikan suatu tempat yang mulia
yang memerlukan juga suatu perjalanan yang agak berat dan mereka memilih tempatnya
yaitu Gunung Bawakaraeng.

3. Pengaruh Agama Primitif
E.B Tylor mendefinisikan agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan tersendiri, karena sederhana, gamblang dan memiliki cakupan luas. Lebih jauh Tylor mengemukakan bahwa kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun satu-satunya karakteristik yang dimiliki setiap agama, besar maupun kecil, agama purba maupun modern, adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku seperti manusia (Pals, 2006: 41). Inilah asal-usul agama dalam pengertian Tylor dalam teorinya tentang primitive culture dan primitive religion.

Berangkat dari asumsi tersebut, agama primitif masih nampak mempengaruhi kepercayaan masyarakat modern pada saat ini. Termasuk masayarakat di Sulawesi Selatan, walaupun Islam telah masuk di wilayah ini sekitar abad ke-17, tetapi masih ada sebahagian praktik kepercayaan masyarakat di daerah ini yang percaya terhadap roh-roh leluhur (animisme). Ada beberapa kelompok penduduk Bugis-Makassar yang walaupun mengaku penganut agama Islam, akan tetapi pada inti kepercayaannya terdapat konsepkonsep kepercayaan leluhur, seperti kepercayaan Tolotang di Sidenreng Rappang yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Uwa’, dengan konsep dewa tertinggi yang disebut To-Palanroe (Hasse, 2005). Masih terdapat konsep kepercayaan mereka merupakan sisa-sisa kepercayaan pada masa Lagaligo, yaitu zaman pemerintahan rajaraja Bugis-Makassar yang tertua.

4. Pengaruh Aliran Tarekat
Aliran tarekat dalam pemahamannya selalu disandarkan pada ajaran tasawuf, yang merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam. Ajaran tasawuf ini mengutamakan kebersihan dan kesucian batin, yang diperlukan untuk sampai pada kebenaran Ilahi, sebagai kebenaran mutlak. Paham tasawuf ini nampak diilhami oleh cara yang ditempuh Nabi Muhammad melakukan khalwat di Gua Hira sebelum menerima wahyu Tuhan. Setelah berkhalwat selama beberapa waktu Nabi Muhammad mencapai kesucian lahir batin, dan ketika itulah datang malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada beliau (Djamas, 1983: 74). Dari kejadian itulah muncul berbagai macam ajaran tasawuf yang dalam pahamnya terwujud ke dalam berbagai aliran tarekat. Di Gunung Bawakaraeng yang berada sebagian besar dalam wilayah kecamatan Tinggi Moncong kabupaten Gowa, terdapat suatu aliran tarekat yang bernama “Barakka Bontolebang dan Barakka Balasuka”.
Di sini dapat dilihat, tradisi naik ke Bawakaraeng bukan hanya dipengaruhi oleh cerita mitos dan agama primitif. Ini dapat terlihat adanya masyarakat dari kalangan Islam yang memahami ajaran tarekat yaitu; Barakka Bontolebang dan Barakka Balasuka yang merupakan salah satu bentuk tarekat yang inti ajarannya sudah banyak diselenggarakan dari aqidah Islam.
Sekalipun sebagian besar penganut paham ini mengingkari adanya hubungan dengan pengunjung Haji Bawakaraeng, namun yang jelas dapat diketahui bahwa ajaran ini diterima di Gunung Bawakaraeng melalui wali, sehingga tidaklah diherankan bilamana sebagian masyarakat penganut paham ini dapat bertambah yakin atas kemuliaan dan kehebatan Gunung Bawakaraeng dan mereka berusaha untuk senantiasa mengunjungi Gunung Bawakaraeng untuk mendapatkan berkah dan sekaligus melakukan semacam ibadah haji bilamana bertepatan pada raya Idul Adha.
  sumber :http://rizalabdullahtumcala.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger